dmtvmalang.com Umat Budhha Banyuwangi kini tak perlu menempuh perjalanan jauh ke Magelang, Jawa Tengah untuk melihat Candi Borobudur. Karena, ada Candi Manggala yang bentuknya mirip seperti Borobudur yang dibangun pada masa Dinasti Syailendra itu.
Candi Manggala terletak di Dusun Sidorejo, Desa Yosomulyo, Kecamatan Gambiran atau tepatnya di belakang Wihara Dhamma Harja. Berdiri diatas lahan seluas satu hektare lebih, Candi Manggala digambarkan sebagai pembuatan bangunan candi di era modern.
Dikerjakan oleh tukang dan pemahat batu asal daerah Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa tengah dan wilayah Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Termasuk bahan yang digunakan pembuatan Candi Manggala berasal dari kedua wilayah itu, baik bangunan utama maupun patung Budhha.
Candi Manggala tak bisa dipisahkan dari lembaran panjang perjalanan usia Wihara Dhamma Harja yang sudah memasuki usia 53 tahun. Dibangunnya candi ini juga tak bisa dilepaskan dari sejarah kampung tersebut.
Agus Suyanto (44), Kepala Wihara Dhamma Harja mengungkap, jika pembuatan Candi Manggala itu dimulai sejak bulan Januari tahun 2022. Diinisiasi oleh pemangku Agama Budha atau biksu yaitu Biku Teja Punno yang bertugas membawahi umat Buddha se-Keresidenan Besuki (Kabupaten Banyuwangi, Situbondo, dan Bondowoso).
Biku Teja Punno ketika itu merasa kampung Sidorejo dikenal luas masyarakat dengan sebutan kampung “candi”. Akan tetapi tak ada satupun candi yang berdiri.
“Disini kan disebut warga atau dikenalnya kan Dusun Sidorejo Candi, namun sebelum ada bangunan candi sekarang ini tidak ada satupun candi yang berdiri dan ditemui. Oleh karena itu Biku Teja Punno merasa sebutan kampung itu harus diwujudkan dengan pembuatan candi yang sekarang ini dinamai Candi Manggala ,” ujarnya, Sabtu (12/10/2024).
Asal muasal kampung candi itu sejatinya bukan karena adanya candi melainkan diambilkan dari tokoh atau sesepuh yang dulunya membabat alas untuk dijadikan hunian. Agus menyebut, nama sesepuh itu kemudian dijadikan tetenger kampung oleh masyarakat hingga sekarang.
“Makamnya (sesepuh Candi) itu berada dibawah pohon beringin dekat pematang sawah yang letaknya tak jauh dari wihara Dhamma Harja,” tambahnya.
Kendati secara administratif nama candi tidak masuk ke jejeran kata dusun dengan pemeluk agama sekitar 150 kepala keluarga (KK) tersebut. Akan tetapi kata candi itu begitu kuat dan melekat. Dan kondang dikenal luas warga non lokal.
Alasan itulah yang kemudian menguatkan keinginan Biku Teja Punno untuk merealisasikan pembuatan candi di Dusun Sidorejo. Lalu dipilihlah lahan luas di belakang wihara yang aksesnya mudah dijangkau umat maupun warga lokal.
Agus menambahkan total luas bangunan candi utama 5 × 5 meter persegi dan tinggi 7 meter. Jika ditambah bangunan pagar, total luasan Candi Manggala seluas 15 meter persegi.
Selain bangunan candi pada umumnya yang strukturnya berupa bata bertumpuk dan ukiran relief, serta patung Buddha, pada Candi Manggala terdapat patung naga beda bentuk di tiap arah mata angin. Beda bentuk ini menurut Agus memiliki versi tersendiri.
“Patung naga ini ada empat versi. Yang menghadap ke selatan dengan tujuh kepala naga itu versi Thailand. Terus yang menghadap ke timur itu versi Tiongkok. Menghadap ke arah barat itu versi Bali dan Utara itu versi Jawa,” jelasnya.
Perbedaan versi naga itu, lanjut Agus, tidak memiliki makna khusus. Hanya saja memang keinginan dari pembuat patung yang ingin memberikan nuansa berbeda pada setiap pintu masuk candi.
Makna dari perwujudan naga sendiri dalam ajaran Buddha adalah sewaktu Sidharta Gautama melakukan meditasi setelah tujuh hari mencapai pencerahan. Ketika meditasi itu datang naga untuk melindungi Budha Gautama dari terpaan hujan lebat.
“Saat Budha Gautama melakukan meditasi setelah tujuh hari mencapai pencerahan turun hujan lebat yang disitu kemudian ada naga yang melindungi atau memayungi. Untuk cerita itu diterjemahkan beragam di masing-masing negara. Maka kenapa bentuk naga di setiap negara itu beda-beda. Ada yang versi Thailand, India, Srilanka, di Indonesia sendiri dan masih banyak lagi,” terang Agus.
Agus menambahkan, meski masih belum rampung tahap pembangunannya, Candi Manggala sudah digunakan untuk kegiatan peribadatan dan peringatan hari besar Agama Buddha. Terakhir, digunakan untuk upacara Asadha pada bulan Agustus 2024.
“Agustus kemarin digunakan untuk upacara Asadha dan muat untuk 1.500 orang. Sebelumya untuk tiga hari besar lainnya sudah, hari raya Waisak, Katina dan Magapuja. Ini rencana bulan November akan digunakan untuk upacara Katina. Kalau sehari-harinya sering dikunjungi umat untuk digunakan beribadat,” tambahnya.
Selain umat Budha, pelataran candi juga sering digunakan acara pertemuan maupun kegiatan pemuda kampung. Termasuk dari warga non agama Buddha. Dipusatkan di Balai Kebajikan berada tepat di selatan Candi Manggala.
Kumpul-kumpul itu bagian dari kegiatan rutin di kampung sekitar wihara. Perbedaan itu bukan menjadi penghalang bagi warga setempat.
Desa Yosomulyo dikenal sebagai Desa Moderasi yang terdiri dari beragam pemeluk agama. Bahkan dijuluki miniaturnya Indonesia karena beragamnya pemeluk agama yang tinggal di desa Ini.
Selaras dengan itu, tujuan pembangunan ini Candi tak hanya untuk kegiatan peribadatan saja melainkan memiliki makna menyatukan keberagaman. Tak ada larangan bagi siapapun masuk bahkan luar warga lokal sendiri.
Agus mengungkap ia sesekali menjumpai warga non Budhha datang sekadar berfoto-foto sampai menggelar foto pra nikah.
“Ada yang datang kesini untuk foto prewedding yang bukan warga sini. Kami pun tidak membatasi dan menarik tarif yang penting tetap menjaga kebersihan candi dan menaati aturan yang ada,” pintanya.
Melalui pembangunan Candi Manggala ini, Agus berharap umat Budha itu semakin mengenal ajaran Budha dengan lebih mudah dan bisa mempraktekkan di rumah. Terlebih setiap kajian dan ceramah yang digelar selalu mengundang hadirkan penceramah dari luar Banyuwangi.
“Saat diadakan acara dan kajian agama Budha, sengaja penceramahnya kita datangkan dari luar daerah yang menyampaikan ajaran Budha secara mendetail. Diharapkan seoulang dari kajian, umat Budha lebih mengenal ajaran dan mudah saat mempraktekkannya dirumah,” katanya.
Total ada 14 wihara di Kabupaten Banyuwangi. Menunggu ribuan Umat Budhha yang ada. Terbanyak berada di Dusun Sidomukti dengan 200 KK memeluk agama Buddha. Dilanjutkan dengan Dusun Sidorejo dengan 150 KK. Lalu sebaran lainnya berada di Kecamatan Pesanggaran dan kecamatan lain.
Dengan hadirnya Candi Manggala, pusat peribadatan umat Budha sebanyak itu kini dapat terpusatkan di satu titik. Kapasitasnya pun mumpuni untuk menampung ribuan jemaat (gus)